Perang Uhud (3)
PERANG UHUD
Pembelotan yang dilakukan oleh kaum munafiqin menyebabkan jumlah pasukan kaum Muslimin berkurang. Namun, ini tidak mengendorkan semangat tempur para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Setelah menginap pada malam itu, pada harinya yaitu Sabtu pagi, kaum Muslimin melanjutkan perjalanan menuju bukit Uhud. Ketika sudah sampai di sana, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai mengatur strategi. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pasukan kaum Muslimin untuk membelakangi bukit Uhud dan menghadap ke Madinah. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menempatkan 50 orang pemanah untuk berada di puncak bukit ‘Ainain. Tugas para pemanah yang dipimpin oleh ‘Abdullâh bin Jubair Radhiyallahu anhu ini adalah melindungi kaum Muslimin yang berada di bawah bukit dari serangan kaum kafir Quraisy yang mungkin dilakukan dari arah belakang kaum Muslimin. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang keras para pemanah ini meninggalkan tempat mereka ini, meskipun dalam keadaan genting kecuali ada perintah dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنْ رَأَيْتُمُوْنَا تَخْطَفُنَا الطَّيْرُ فَلاَ تَبْرَحُوْا مَكَانَكُمْ هَذَا حَتَّى أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ وَإِنْ رَأَيْتُمُوْنَا هَزَمْنَا الْقَوْمَ وَأَوْطَأْنَاهُمْ فَلاَ تَبْرَحُوْا حَتَّى أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ
Meskipun kalian melihat kami disambar burung, janganlah kalian meninggalkan tempat kalian ini sampai aku mengutus utusan kepada kalian. Meskipun kalian melihat kami telah berhasil mengalahkan mereka, maka janganlah kalian meninggalkan tempat kalian ini sampai aku mengutus utusan kepada kalian [HR. al- Bukhâri][1]
Dengan strategi ini, kaum Muslimin berhasil menguasai dataran-dataran yang tinggi dan membiarkan lembah untuk pasukan Quraisy menghadap ke bukit Uhud dan membelakangi Madinah.
Ketika kedua pasukan yang berlawanan ini mulai semakin mendekat, Abu ‘Amir[2] memanggil kaumnya yaitu kabilah Aus untuk bergabung bersamanya di barisan kaum kafir Quraisy. Mendengar seruan ini, para Sahabat menolaknya dengan keras. Mereka mengatakan, “Wahai orang fasik ! Semoga Allah Azza wa Jalla tidak memberikan kenikmatan kepadamu !” Mendengar jawaban yang tidak diharapkan ini, dia pun kembali dengan penuh kedongkolan.[3]
Setelah itu, pertempuran sengit antara dua pasukan ini tak terhindarkan lagi. Pasukan Muslimin bertempur dengan penuh semangat, tekad mereka hanya untuk membunuh atau terbunuh. Sehingga dalam waktu singkat mereka berhasil memukul mundur pasukan Quraisy ke markas mereka sampai mendekati barisan kaum wanita yang mendukung mereka. Untuk semakin mengobarkan semangat tempur para Sahabat Radhiyallahu anhum, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghunus pedang sambil bersabda, “Siapakah yang mau mengambil pedang ini dariku ?” Seluruh Sahabat yang mendengar ini sontak mengacungkan tangan sebagai isyarat bahwa mereka menginginkannya. Semua mengatakan, “Saya! Saya.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi, “Siapakah yang bersedia mengambilnya beserta haknya ?” Mendengar ini, para Sahabat menahan diri. Lalu Abu Dujânah Radhiyallahu anhu mengatakan, “Saya bersedia mengambilnya beserta haknya.” Lalu Abu Dujânah Radhiyallahu anhu mengambilnya dan mempergunakannya untuk membabat tubuh-tubuh musuh Islam. [HR Muslim, 4/1917, no. 2470]
Para Sahabat bertempur dengan penuh kesatria. Telah tercatat dalam lembaran sejarah keberanian yang ditunjukkan oleh Hamzah bin ‘Abdul Muththalib Radhiyallahu anhu juga para Sahabat yang lain. Ketika beliau Radhiyallahu anhu mendengar tantangan dari salah seorang kafir Quraisy yang bernama Sibâ’ bin ‘Abdil Uzzâ, beliau Radhiyallahu anhu bergegas menyambut tantangan tersebut. Beliau Radhiyallahu anhu berhasil mengalahkan orang kafir tersebut. Sementara di tempat lain, ada Wahsyi, budak hitam milik Jubair bin Muth’im yang selalu mengintai kesempatan untuk menyerang Hamzah Radhiyallahu anhu. Oleh tuannya, Wahsyi dijanjikan merdeka jika berhasil menghabisi Hamzah Radhiyallahu anhu , sebagai pembalasan terhadap Hamzah Radhiyallahu anhu yang telah membunuh Thu’aimah bin ‘Adi dalam perang Badar. Dia mengendap-ngendap berusaha mendekati Hamzah Radhiyallahu anhu , ketika melihat Hamzah Radhiyallahu anhu berada dalam jangkauan serangannya, dia mulai membidik Hamzah Radhiyallahu anhu dengan tombaknya dan melemparnya. Lemparannya tepat mengenai sasaran sehingga menyebabkan Hamzah Radhiyallahu anhu wafat sebagai syahid dalam peperangan ini. Wahsyi berhasil membunuh Hamzah Radhiyallahu anhu dengan cara yang sangat curang.
Sementara itu, peperangan terus berlangsung. Mush’ab bin Umair Radhiyallahu anhu terus bertempur sambil membawa bendera sampai akhirnya beliau Radhiyallahu anhu gugur. Selanjutnya, bendera dibawa oleh Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu . Kaum Muslimin terus berjuang sehingga memaksa kaum Kafir mundur. Pada babak pertama ini, kaum Muslimin berhasil memenangkan pertarungan. Tentang ini, Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ اللَّهُ وَعْدَهُ إِذْ تَحُسُّونَهُمْ بِإِذْنِهِ
Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kalian, ketika kalian bisa membunuh mereka dengan izin-Nya [Ali Imrân/3:152]
Ketika melihat pasukan musuh lari tunggang langgang, pasukan `Abdullâh bin Jubair Radhiyallahu anhu mengatakan : “Ghanîmah … Ayo kawan-kawan ! ghanîmah … teman-teman kalian sudah menang, tunggu apa lagi ?” Mendengar ajakan ini, `Abdullâh Radhiyallahu anhu berusaha mengingatkan, “Apakah kalian telah lupa pesan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kalian ?” Mereka menjawab, “Demi Allah ! Kami akan mendatangi mereka kemudian mengambil ghanîmah !” Lalu mereka bergegas meninggalkan tempat itu dan melanggar pesan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka ikut serta mengumpulkan ghanîmah.
Melihat kaum Muslimin tersibukkan oleh ghanîmah, Khâlid bin Walîd sebagai salah satu komandan kaum Quraisy tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Dia memerintahkan pasukannya untuk kembali ke medan tempur. Mendapatkan serangan dadakan dan tak terduga ini, jelas membuat kaum Muslimin kelabakan dan kocar-kacir serta membuat suasana jadi kacau tak terkendali. Sampai-sampai kaum Muslimin kesulitan untuk membedakan antara kawan dan lawan. Dalam suasana kacau inilah, kaum Muslimin menyerang dan membunuh al-Yamân, orang tua Sahabat yang bernama Hudzaifah, padahal Hudzaifah Radhiyallahu anhu sudah berteriak bahwa yang sedang mereka serang itu adalah ayahnya. Akhirnya, al-Yamân meninggal di tangan kaum Muslimin. Setelah memastikan orang tuanya meninggal, Hudzaifah Radhiyallahu anhu mengatakan, “Semoga Allah Azza wa Jalla mengampuni kalian”[4].
Dalam pertempuran babak kedua ini, banyak kaum Muslimin yang gugur sebagai syahid. Kaum Muslimin juga kehilangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tersiar kabar bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah gugur.[5] Berbagai tindakan dilakukan oleh kaum Muslimin sebagai respon terhadap berita wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada yang lari meninggalkan medan tempur, sebagian terdiam tidak mau bertempur lagi, sementara sebagian lagi terus berjuang dan berusaha mengobarkan semangat tempur kaum Muslimin.
Di antara yang terus berjuang dan mengobarkan semangat kaum Muslimin yaitu Anas bin Nadhar Radhiyallahu anhu yang bertekad menebus ketidakikutsertaannya dalam perang Badar. Ketika melihat sebagian kaum Muslimin diam tidak bersemangat lagi, beliau Radhiyallahu anhu mengatakan, “Surga, demi Rabbnya Nadhar! Sungguh aku mencium bau surga di balik Uhud !” Kemudian beliau Radhiyallahu anhu maju bertempur sampai gugur sebagai syahid. Ketika jasad beliau ditemukan, tidak ada seorang Sahabat pun yang bisa mengenalinya karena begitu banyak luka tusuk akibat tombak atau panah dan sayatan pedang di tubuh beliau Radhiyallahu anhu . Tentang Anas bin Nadhar Radhiyallahu anhu ini atau para Mujahidin yang semisal dengan beliau Radhiyallahu anhu , Allah Azza wa Jalla berfirman:
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
Di antara orang-orang Mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; di antara mereka ada yang gugur dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya) [al-Ahzâb/33:23]
PELAJARAN DARI KISAH
1. Bolehnya mendatangi barisan musuh untuk melakukan penyerangan, sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Nadhar Radhiyallahu anhu dan yang lainnya.
2. Jika dalam peperangan, pasukan kaum Muslimin membunuh seorang Muslim karena dikira musuh, maka beban diyat dipikulkan kepada imam dan diambilkan dari Baitul Mal, sebagaimana dalam perang Uhud. Ketika kaum Muslimin membunuh orang tua Hudzaifah Radhiyallahu anhuma yang dikira musuh. Ketika Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak membayarkan diyat (tebusan) nya kepada Hudzaifah Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu anhuma menolaknya dan menyedekahkannya kepada kaum Muslimin[6] . Sungguh mulia hati Sahabat Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini.
Marâji’ :
– As-Sîratun Nabawiyah Fî Dhauil Mashâdiril Ashliyyah, Dr Mahdi Rizqullâh
– Fiqhus Sîratin Nabawiyah min Zâdil Ma’âd Fî Hadyi Khairil ‘Ibâd, Dr Sayyid al Jamîli, Cet. Dârul Fikri al Arabi-Bairut
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. HR. al-Bukhâri, Al-Fath 12/132 no. 3039 dan 15/224-225, no. 4043. Dalam riwayat Ahmad dan al-Hâkim, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lindungilah punggung-punggung kami. Jika kalian melihat kami terbunuh, janganlah kalian menolong kami! Jika kalian melihat kami telah berhasil mendapatkan ghanimah, maka janganlah kalian bergabung dengan kami”. (Al-Musnad, 4/209/ tahqîq Ahmad Syâkir dan beliau menyatakan sanadnya shahîh; al-Mustadrak, 2/296. Al-Hâkim menshahîhkan riwayat ini dan ini disepakati oleh Imam adz-Dzahabi).
[2]. Orang ini bernama ‘Abdu ‘Amr bin Shaifi. Dia seorang pendeta dan tokoh kabilah Aus pada masa Jahiliyah. Ketika Islam datang dan mulai berkuasa di Madinah, dia menampakkan permusuhan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kemudian lelaki fasik ini eksodus ke Mekah dan bergabung dengan Quraisy. Di sana dia terus mengobarkan api permusuhan terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memprovokasi kaum Quraisy supaya memerangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia juga menjanjikan pertolongan dari kaumnya di Madinah jika terjadi peperangan antara Quraisy dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Fiqhus Siratin Nabawiyah min Zâdil Ma’âd Fî Hadyi Khairil ‘Ibâd, hlm. 170)
[3]. Ibnu Ishâk, dengan riwayat mursal, Ibnu Hisyâm, 3/97-98; al-Wâqidi, 1/223; Ibnu Sa’d 2/40
[4]. HR al-Bukhâri, Al-Fath, 15/239-240, no. 4065.
[5]. Lihat Al-Fath, 15/226 dan Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan bahwa riwayat ini berasal dari ath-Thabari dari riwayat as-Suddi
[6]. Fiqhus Siratin Nabawiyah min Zaadil Ma’aad Fi Hadyi Khairil Ibaad, hlm. 193
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3898-perang-uhud-3.html